KOMENTER TERHADAP TULISAN IMAM SUPRAYOGO

Posted on 19 Juni 2010

0


Saat membuka FB pandangan saya tersita oleh judul tulisan bapak “kerrapen sapeh”. Kerrapen sapeh bapak jadikan judul. Kerrapen sapeh bapak ambil dari salah satu kesenian “tarian kerrapen sapeh” pada saat melakukan kunjungan pada salah satu perguruan tinggi yang ada di bangkalan. Kagum dan salut saya ucapkan pada bapak, karena di tengah kesibukan yang padat bapak masih mampu meluangka waktu mencurahkan pengelaman-pengamalan melalui tulisan.
Seandainya semua dosen yang ada di UIN seperti bapak tentu nuansa akadek tidak hanya sekedar bersifat teoritis dan monoton dalam ruangan dan kefakuman absensi. Tapi itulah mekanisme birokrasi yang ahrus dijalankan dan kita taati bersama. Namun sebagai seorang pendidik tentu juga tidak bisa melukapakan subtansinya sebagi pendidik dan pembimbing “tidak tidak terjabak dalam ritual kehadiran yang moton”.
Sebagai anak Madura “sumenep” saya merasa terpanggil untuk membaca apa yang bapak tulis, bukan lantaran bapak menulis sebagian kecil tradisi dan kesenian Madura, pada tulisan-tulisan yang lain yang sering mengikuti dan salut betul pada bapak. Maka jika pada komentar terdapat kekeliruan dan tidak terstruktur seperti bapak maka saya minta maaf, karena saya bukan penulis seperti bapak.
Kerrapen sapeh pada umumnya dikenal sebagai tradisi—bukan budaya. Hal itu sejalan dengan penjelasan guru kelas XI waktu di MAN sumenep. Menurut keterangan guru “kerrapan sapeh bukan budaya, dalam budaya itu terdapat beberapa unsur edukatif dan manusiawi”, kerapan sapi yang dilakukan sekarang bukan budaya karena terjadi penyiksaan ‘penganiayaan terhadap sapi yang dipacu (sapeh–kerrap)’. Terlepas kebenarannya bagaimana saya tidak begitu mendalami.
Apa yang bapak lihat ‘tarian kerrapen sapeh di bangkalan’ di Madura merupakan budaya yang sengaja dikemas lewat tarian. Karena saya tidak melihat langsung jadi saya pun tidak bisa mendiskripsikan lebih jauh mengenai tarian yang bapak lihat. kalau bapak dalam tulisannya mengatakan tidak menemukan nilai keindahan dan hanay melihat gerakn-gerakan yang keras, saya tidak bisa melihat dan mendalami pendiskripsian dari tulisan bapak. Mungkin saya kurang teliti.
Tapi yang pasti ……. Seni adalah keindahan, di dalamnya terdapat filosofi sekaligus nilai pelajaran hidup, begitu juga dengan tarian kerrapan sapeh yang bapak bahas. Namun pada tulisan bapak nilai-nilai penting itu tidak dibahas, hanya pada akhir tulisan itu bapak mengkomper dengan maslah century. Tapi bagaimanapun saya salut karena bapak telah bersenang hati menulis dan mengenalkan pada masyrakat luas. Apa yang bapak paparkan tentu akan member efek-nilai pada pembaca khususnya
Dalam hidup apa yang tidak bernilai, semua aspek dalam kehidupan ini memiliki nilai sendiri-sendiri begitu juga tari. Apalagi sebuah tarian dimana di dalam tiap gerakan dan lirikan selalu dikaitkan dengan symbol—dan nilai subtansi tertentu. Terkadang dalam sebuah tarian itu terdapat keritikan pada penguasa, ada pula sebagai pelajaran hidup dll.
Tetap pada apa yang bapak bahas, kalau tidak salah bapak membandingkan tarian Madura dengan tarian jawa.tarian Jawa Bapak lukiskan lebih pelan–lamban dan lembut senmentara tarian Madura keras. Dan bapak tidak merasakan keindahan berarti dari tarian kerrapan sape, yang ada hanya pertarungan “kekerasan” yang keras.
dari apa yang bapak lihat dan disampaikan dalam tulisan di atas mungkin seperti itulah adanya, terlepas dari subjektifitas. Namun satu hal yang dapat dicermati adalah “manusia selalu terjebak pada aspek visual dan pola struktur yang ditampilkan dari pada nilai yang akan disampaikan” lebih jauh lagi kita sering terjebak pada penilaian-penilaian yang tidak objektif, (klaim-mengklain—tanpa ada satu ferifikasi leibih mendalam).
Tentu apa yang bapak paparkan merupakan sebuah fakta yang terjadi pada saat itu “saat bapak melihat tarian” tapi mengapa bapak tidak coba menyakan pada orang di sekitar bapak “orang madura” pada saat itu, kenapa gerakannya seperti itu, apakahyang melatar belakangi hingga seperti itu. Kalau saya amati apa yang bapak sampaikan merupakan pengakomodasian dari sifat dan kultur ke daeran, “maduaran—-keras-kasar, sementara Jawa lemah lebum kalem—santun” sehingga tarian kerrapen sapeh yang bapak lihat kemudian memunculkan sebuah penilaian yang kurang lebih sama dengan pranata—kultur maduara “keras”.
Mungkin bapak tidak bermaksud untuk membanding-bandingkan antara Madura dan jawa, kebetulan saja bapak melihat tarian itu kemudian mengkomonikasikannya. Dan jika pun tarian Maduara dan Jawa harus ama lemah lembut semua —kasar semua, tentu akan tidak menarik lagi nilai keunikan dan keragaman budaya yang menjadi cirri khas indonisia akan tidak bertmakna.
Pada saat bapak melihat tarian itu tidak lagi seperti sebuah trian pada umum-nya “perkehaian, perebutan snjata” kemudian bapak hawatir akan terjadi kecelakaan. Itu adalah kehawatiran yang bapak rasakan saat melihat tarian itu. Dan jika saja tarian kerrapan sapi dimainkan seperti para penari jawa “lemah-lembut—-ngantuk” mungkin bapak tidak bisa melihat keindahan dari tarian itu dan mungkin bapak dan para hadirin akan tertidur..
Jika saja bapak mampu menyajikan ‘subtansi’ dan mengali nilai filosofis dari tarian itu tentu akan menarik lagi. Jadi bapak tidak hanya melihat dari sisi kekerasan tapi sebuah telaah mendalam terhadap nilai budaya tari kerrapan sapeh. Mungkin karena kesibukan jadi bapak tidak ada waktu untuk menanyakan hal yang barangkali kurang pebting seperti tari kerrapan sapeh di atas.
Keindahan merupakan sebuah penilayan subjektifitas setiap individu. Jadi apa bila pada satu objek muncul bermacam penilayan itu satu hal yang biasa dan wajar, termasuk penilayan bapak terhapat tarian kerrapan sapeh “keras”. Mungkin bagi orang papua itu tidak bermakna apa, Jika penilayan itu lahir dari pakar seniman tentu akan berbeda pula. Apalagi jika kita Tanya pada yang menggarap tarian itu ‘madura’ mereka punya sudut pandang yang beda pula.
Jika pada bagian awal—pertengahan pembahasan bapak melakukan perbandingan gerakan-gerakan antara tarian Jawa & Madura, dibagian akhir bapak mencoba melakukan pengandayan ending dari tarian terhadap kasus century yang lagi panas saat ini, dengan satu haran semuga ending dari drama century seperti tarain kerrapan sapeh, ”Saya kemudian membayangkan, dan juga sekaligus berdoá, semogalah penyelesaian kasus Bank Century tersebut, berakhir sebagaimana tarian Kerrapen Sapeh di Universitas Trunojoyo Bangkalan”
Harapan bapak terhadap kasus centry tidak beda jauh dengan harapan masyarakat Indonesia pada umumnya, dan harapan itu telah kita sedikit terjawabkan. Karena pada hakekatnya pelaku pansus merupakan dalang sekaligus pemain ulung yang sengaja mencari sensasi bukan subtansi “bekerja demi kepentingan rakyat” tapi mereka lebih mengedepan sikap pragmatisme—kedudukan dan kekuasaan.
Lobi-lobi politik telah dilakukan oleh penguasa. Bagi-bagi kekuasaan diwacanakan oleh pemengang kekuasaan. Sementara kepentingan rakyat, kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup yang baik menjadi hal kurang penting. Benar apa yang dikatakan oleh si Buted dalam monolognya di Metro TV bahwa popularitas pansus “pelaku/panitia” mengalahkan popularitas selebritis, sehingga rating panus naik dan info taiment jadi anjlok.
Menurut saya ada satu hal yang peting dari apa yang dibahas “kita jangan tertipu pada apa yang kita lihat, karena apa yang kita lihat—tidak seperti apa adanya” . sebagai bangsa yang memiliki berbagai potensi besar marilah kita tatap kebenikaan dan kembali melakukan refleksi—koreksi terhadap apa yang kita lakukan. Jika saja masyarakat mengedepankan kepentingan individu kelompok dan golongan tentu kita telah menjadi pioneer di dunia internasional. Untuk apa kita terjebak ritual dan symbol yang sebenarnya penuh tipuan. Indonesia bangkitlah.

Posted in: Uncategorized