KEMERDEKAAN HARAPAN DAN URGENSI HIDUP

Posted on 1 Februari 2009

0


                Kemerdekaan merupakan suatu kebutuhan manusia, dan memperjuangannya adalah kewajiban. Akan tetapi sejaumana kita peduli dalam hal ini, meski orang banyak mengatakan ”kemerdekaan” adalah sebuah kebutuhan dan bahkan wajib, pada tataran realitasnya banyak tidak peduli akan hal ini. Jangan salah bila kita sering terjerembab dalam sebuah perbuatan yang terjadi diluar keinginan kita. Terkadang orang akan melakukan apa pun untuk memertahaankan kedudukan dan atau dalam mencapai kedudukan itu.

Lantas apakan kita bisa dikatakan merdeka, smentara apa yang kita lakukan semata, hanya untuk mencapai sebuah keegoan, berupa kedudukan. Jiak kita berpeliku seperti yang saya singgung, maka pada hakekatnya anda adalah robot bagi anda sendiri, anda tidak bisa menemukan atau mencari eksistensi yang ada pada diri anda. Kasus-kasus membeo terhadap atasan bukan menjadi sebuah rahasia, semua orang sadar mana itu sebuah tindakan keikhlasan atau untuk mempertahankan diri.

Sering tanpa disadari orang berperilaku selalu menyesuaikan dengan pranata yang ada, semisal dalam sejarah orde baru, kalau ada polisi yang berkunjung kerumah seseorang, dengan segenap kemampuannya orang itu memberikan peyalanan, bahkan mengikuti apa yang diinginkan oleh polisi tersebut, lalu eksistensi anda sebagi masyarakat di mana. Pantaskah anda membeo bahkan membenggakan diri ketika seperti itu?

Kemerdekaan yang kitarasan saat ini hanya merupakan sebuah simbol saja. Pada dasa rnya kita tidak merdeka, maka selama kemerdekaan belum sepenuhnya dimiilik oleh kita, kita akan mereasa tersikka. Lalu kemerdekaan seperti apa ? pertanyaan itu dirasa perlu untuk dilontarkan, karna pada dasarnya kita tidak pernah merdeka. Baik itu ditinjau dari segi institusional, lebih-lebih peranata dan keegoan yang ada kita.

Kemerdekaan yang akan kita perjuang tidak seperti dulu, di mana musuh secara etnes dan ras jelas tampak. Pemperjuangkannya tidak butuh medan. Yang akan kita hadapi adalah pranata yang selama ini ternam di bawah alam sadar kita, seperti pranata sosial, kultur, budaya, agama dan institusi lainnya.

Mungkin selama ini kita tidak sadar akan keterkungkungan yang mencekam batin dan jiwa kita, akan tetapi setidaknya kita pernah mempertanyakan segala yang ada di luar kita, walau itu hanya sebatas instusi. Pernahkah anda melakukan sesuatu, kemudian sesuatu yang anda lakukan itu menjadi salah, karna anda dianggap tidak memiliki kapabilitas terhadap apa yang anda lakukan, tapi sebernya tindakan anda itu benar. Lalu kanapa anda hanya mengeluh dan menggerutu di dalam pikiran dan jiwa anda, mengapa anda tidak melakukan sesuatu hal, apakah itu pembelaan atau yang alinnya.

Saya akan menceritakan sedikit pengalaman saya, mungkin apa yang saya alami juga pernah dialami oleh anda. ”sebelum saya bercerita saya harap apa bila ada kesamaan, itu hanya kebetulan saja”. ” …… pada suatu hari saya saya ditegur oleh seseoang sebut saya mahfud, dia menegur kamu jangan ikut campur persoalan yang belum saatnya kamu ketahui, kamu masih kecil. Tentusaja saya waktu itu hanya diam, dan pasrah saja, saya tidak bisa menngelak, apalagi mencoba melawan. Namun kejadian itu justru menjadi sebuah pertanyaan besara pada diri saya saat itu, tapi saya tidak memiliki keberanian untuk melontarkan, akibatnya saya donggkol dan menggeru. Padahal apa yang saya lakukan adalah benar, akan tetapi mereaka tidak mau mengakui akan kebenaran yang saya sampaikan, mereka menolak gagasan saya hanya dengan sebuas setedment ”belun pantas”. Kepantasan itulah yang saya pertanyakan. Apa ukuran standart dari kepantasan tersebut..? apa landasan yang meaka pakai …..? ataukah itu hanya kekolotan yang mereka pertahan sebuah kebenaran, untuk melunturkan bahkan menodai kebenaran yang sebenarnya, sehingga yang muncul dan tampak adalah sebuah pembenran.

……..dari kejadian itu saya semakin paham bahwa pada intinya seseorang ingin mendominasi seseorang, hal itu dilakukan dengan baragam cara, semisal : menganggap orang yang ada di bawah derajatnya atau paham senioritas menjadi sebuah landasan untuk mendominasi atau bersikap sepele terhadap yang unior. Terus anda mungkin akan bertanya, apa kaitannya dengan kemerdekaan yang saya usung dalam tema ini. Perlu diketahui sebuah kemerdekaan adalah adanya sebuah kebebasan dalam mengespresikan diri, tanpa ada sebuah simbol yang bisa mendominasi baik itu ditingkatan usia ata yang lebih akrab budaya senioritas.

Hidup yang merdeka, adalah sebuah tujuan dan impian seseorang. Untuk mencai taraf hal itu dibutuhkan sebuah sifat saling menghargai setiap perbedaan. Lantas bagaimana dengan sikap para orang tua atau senioritas yang sering dijadikan legitimasi seseorang, apakah hal itu dibenarkan ..? ”…..saya tidak akan menjawab pertanyaan tersebut, sepenuhnya saya serahkan pada anda, apakah anda setuju dengan sikap itu…?.

Kalau kita akui secara jujur tradisi senioritas amat sulit dihapus. Akan tetapi apakah kita akan diam dan ikut larut, atau bahkan menyepakatinya, disinilah dibutuhkan sebuah kesadaran dan ketulusan untuk bisa memberikan hak-kepada mereka yang selama ini menjadi kita abaikan, hanya dengan sebuah stedment ”belumpantas”.

Kejadian penyepelihan terhadap unior dari senioritasnya sering kita temukan mulai dari kalang pendidikan, sampai pada lingkungan pergaulan sehari-hari. Hal itu terjadi karna keegoan yang mereka pertahankan. Disinilah pembongkaran paham harus ditempu oleh setiap mereka yang memiliki kedaran untuk hidup dalam kemerdekaan yang sesungguhnya.

Selama perbedaan status selalu dikedepankan, maka kemerdekaan itu tidak akan pernah tercapai. Yang terjadi hanyalah pertikaian-pertikaian. Senioritas tidak akan terjadi jika tidak ada generasi-nya, maka setidaknya sikap senioritas yang salama ini cebderung mengarah pada sisi nigatif harus diluruskan, dengan membuka kran kesadaran bahwa sikap itu bukanlah sikap yang baik, ”merangkul” mungkin sikap inilah yang harus dijadikan sebuah terobosan untuk mencaiak apa yang kita cita-citakan ”kemerdekaan”.

 

KONDISI SOSIAL BUDAYA.

Di sini saya tidak akan membicarakan kondisi sosial budaya secara sepesifik, atau mengambil sampel daerah terten, tetapi pembahasan saya hanya secara umum. Hal itu karna tidak adanya kapasitas saya, atau keterbatasan saya. Akan tetapi saya akan mencoba membahas secara acak dan kasus yang dekat dengan keseharian kita, TENTU pembahasan masih ber.

Dalam kaca mata sosial budaya pada hakekatnya manusia itu adalah mahluk yang beretika ”memiliki budaya”. Secara historis kondisi lingkukangan kita yang relatif majemuk mau tidak mau menuntut kita untuk mengahrgai. Sikap saling menghargai merupakan langkah yang paling efektif untuk tetap menjaga keutuhan dan kebersamaan.

Pergeseran budaya yang makin tidaak terarah menjadikan kesenjangan di mana-mana. legitimasi budayapun justru menjadikan seseorang buta akan makna dan hakekat tentang budaya itu, lantas bagaimana budaya ditinjau dari presfektif pembebasan ”kemerdekaan”. Apakah budaya kita selama ini telah menjadikan kita lebih hidup bermakna, atau justru terjadi sekat dan pertentangan dengan fikiran dan cara pandang kita..?, alih-alih hal ini merukan sebuah pertanyaan yang saya kita tidak bisa kita jawab dengan semerta merta.

Kita ambil contoh kasus yang dekat dengan keseharian kita, dalam pergaulan kita sering dihadapkan pada batas-batas tertentu misal perbedaan status usia, faktor keturunan, kelas sosial dan jenis kelamin. Hal itu semua merupakan peristiwa yang amat kira rasakan dalam lingungan dan pergaulan kita sehari-hari. Jika perbedaan itu yang dikedepankan maka apa yang akan terjadi…? tentu rasa percaya diri akan hilang dan lebih didominasi oleh kalangan tertentu saja. Lantas apakah hal itu akan tetap kita pertahankan di era yang serba menuntut keterbukaan…?

Kehidupan Sosial kita saat sekarang semakin jauh dari hakekatnya, kesetaraan menjadi buram, pembenaran menjadi legitimasi setiap orang. Ketika hidup tidak lagi menjadi jaminan pada diri sendiri (kita berada dalam tekanan dan paksaan maka nilai hidup menjai buram tak bermakna, pada prinsipnya orang paham akan hak-hak orang lain, namun kesedaran mereka menjadi absurd ketika keegoan dikedepankan), saya adalah orang yang kurang beruntung dalam perjalan hidup ini, hal ini diseabkan berfaktor : Pertama kondisi ekonomi manjadi salah satu penyeb diri termarginalkan. Kedua lingkungan, karna keterbatasan ekonomi saya pubtidak isa secara leluasa menentukan nasip saya, saya hanya bisa tergantung pada orang lain, ketergantungan ini menjadikan saya seperti robot yang hanya dimanfaatkan oleh orang lain. Sebenarnya ini bukan kemauan saya, saya juga tida berdaya dengan semua ini. Ketiga posisi dan kesempatan, posisi dan kesempatan saya tidak bisa secara leluasa mengaktualisasikan diri saya sendiri, ini adalah sebuah pilihan pahit bagi saya.

 

Posted in: Uncategorized